Dalam perkambangan hadits, sahabat dan tabi’in memiliki urgensi besar
dalam kaitannya dengan hadits. Karena sahabat dan tabi’in mendapat posisi
penting dan status intelektual terhormat khususnya dalam menjaga sunah. Tidak
hanya itu saja, sama-sama diketahui bahwa yang sangat sering berinteraksi
dengan Rasulullah adalah para sahabat. Dan tabi’in merupakan kelompok orang
yang berada setelah masa sahabat dan sangat sering juga berinteraksi dengan
sahabat sebagai pemerhati Rasulullah. Oleh karena itu, perlu mengkaji sahabat
dan tabi’in termasuk juga apa yang mereka katakan dan lakukan.
Kemudian
sahabat merupakan pemerhati segala hal yang dilakukan Rasulullah, begitu juga
tabi’in yang pada masa mereka sangat sering berinteraksi dan berkomunikasi
dengan para sahabat.
Hadits
maqthu’ adalah satu hal yang penting dikaji karena bersandarkan pada perkataan
dan perbuatan para tabi’in. Maka dengan mempelajari dan memahami hadits
maqthu’, dapat diketahui apakah hadits ini dapat dijadikan hujjah atau tidak.
A.
Defenisi Hadits Maqthu’
Secara
bahasa atau etimologi:
Berasal dari kata “Qatha’a” yang
berarti terpotong atau terputus lawan dari “washala” yang berarti bersambung.
Kata terputus berarti tidak sampai kepada Nabi SAW, hanya sampai kepada
tabi’in.
Secara
istilah atau terminologi:
ما أضيف إلى التابعي أو من دونه من
قول أو فعل
Apa-apa yang disandarkan kepada tabi’in dan
selainnya dari perkataan dan perbuatan.
ما روي عن التابعين موقوفا عليهم من
أقوالهم و أفعالهم
Sesuatu yang
diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepada mereka, baik berupa ucapan
maupun perbuatan mereka.
الحديث المقطوع هو ما أضيف إلى
التابعى
Hadits maqthu’ adalah hadits yang
disandarkan kepada tabi’in.
Dari beberapa
defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits maqthu’ adalah hadits yang
diriwayatkan dan disandarkan kepada tabi’in dan lainnya, baik secara perkataan
atau perbuatan mereka dan hadits ini sanadnya tidak sampai pada Rasulullah SAW.
B. Pembagian
Hadits Maqthu’
1. Maqthu’ Qauliy (مقطوع القولي)
yang berasal dari perkataan tabi’in.
مثال : قول الحسن البصري فى الصلاة خلف المبتدع
: ”صل و عليه بدعته
Artinya: Perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah:
“shalatlah dan bid’ahnya atasnya”. (HR. Bukhari).
2.
Maqthu’ fi’liy (مقطوع الفعلي) yang
berasal dari perbuatan tabi’in.
مثال :
قول ابراهيم بن محمد بن المنتشر ” كان مسروق يرخي الستر بينه و بين أهله و يقبل
على صلاته و يخليهم و دنياهم“.
Artinya: (dalam bentuk perkataan) sebagaimana perkataan ibrahim bin
muhammad bin Al-Muntasyir: masruq membentangkan
pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan
mereka dengan dunia mereka”.( Hilyatul Auliyaa).
C. Persamaan dan
Perbedaan Hadits Maqthu’ dengan lainnya.
Dalam
masalah persamaan antara hadits maqthu’ dengan yang lainnya yaitu, beberapa
ulama yang mengatakan hadits maqthu’ padahal yang dimaksudkan adalah hadits
munqthi’. Hal ini seperti yang dilakukan oleh ahli hadits seperti Imam
asy-Syafi’i dan ath-Thabrani rahimahumallah menggunakan kata al-Maqthu’
padahal yang mereka maksudkan adalah, al-Munqathi’, yaitu yang tidak
tersambung sanadnya. Dan ini adalah istilah (penamaan) yang tidak masyhur. Dan
Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam hal ini diberi toleransi, karena
beliau mengatakan hal itu sebelum dipatenkan istilah-istilah tersebut. Adapun
imam ath-Thabrani rahimahullah, maka penyebutannya tersebut adalah
dianggap sebagai sikap longgar dalam istilah.
Sedangkan
perbedaannya dengan hadits munqathi’ bagi ahli hadits yang membedakannya yaitu,
antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian
dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang
Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa
jadi sanadnya bersambung sampai kepada tabi’in yang mengatakannya atau mungkin
juga terputus sanadnya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak
ada kaitannya dengan matan atau untuk lebih jelasnya hadits munqathi’ adalah
hadits yang berasal dari Rasulullah tapi sanadnya tidak sampai kepada
Rasulullah dan hal inilah yang menyebabkan hadits ini dha’if. Dalam hadits
munqathi’ yang dibicarakan adalah sanadnya, sedangkan dalam hadits maqthu’ yang
dibicarakan adalah matannya.
D. Kehujjahan
Hadits Maqthu’
Hadits
maqthu’ sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum syara’, karena
berasal dari perkataan seorang muslim yang bukan merupakan perkataan dari
Rasulullah maupun Allah SWT. Tetapi, jika ada bukti kuat yang menyatakan kemarfu’annya
dan mengangkat derajat hadits tersebut, maka hadits tersebut dihukumi marfu’
mursal. Yaitu hadits dha’if yang sanadnya terputus pada bagian sahabat.
Referensi :
Modul Ilmu Hadits, Anto Makmu, Lc
0 comments:
Posting Komentar