Kamis, 17 Januari 2019

Contoh Hadits Mutawattir dan Definisinya


Banyak sekali orang yang meriwayatkan hadits, karena banyaknya yang meriwayatkan terkadang sulit bagi orang awam untuk menentukan mana hadits yang benar-benar dari rasulullah SAW dan mana hadits yang dibuat demi kepentingan kelompoknya. Untuk menghindari salah kaprah dalam berhujjah dengan hadits, maka perlulah diketahui hadits berdasarkan jumlah periwayatnya. Yang mana hadits berdasarkan jumlah periwayatnya terbagi menjadi dua yakni muttawatir dan ahad. Berdasarkan hal tersebut, pertama-tama akan membahas mengenai hadits mutawattir.
A.    Deinisi
Mutawattir  menurut bahasa adalah isim fail musytaq dari At-tawattur artinya At-tatabu' (berturut-turut). dalam hal ini Mutawattir  mengandung pengertian sesuatu yang continu.
Adapun menurut istilah ulama hadits adalah,
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat dari sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan)”
      menurut Mahmud at-Thahhan, hadits Mutawattir adalah, 
"Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang banyak yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan)” 
      berdasarkan deinisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits Mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat berdusta. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad. sandaran beritanya didasarkan pada pancaindera, seperti disaksikan (didengar) ataupun dilihat.

B.     Kriteria Hadits Mutawattir
Syarat-syarat hadits mutawattir ini adalah :
1.      Pemberitaan hadits yang disampaikan oleh para rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera, baik indera penglihatan maupun indera pendengaran. Kalau pemberitaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman analisis dari suatu peritsiwa yang lain, atau hasil istinbath dari suatu dalil dengan dalil yang lain, maka berita itu bukanlah hadits mutawattir.
2.      Banyak rawi sampai pada jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Dengan demikian jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas tertentu, yang dipersyaratkan adalah adanya kesan bahwa pada pemberitaan tersebut dari segi jumlah pemberitaanya tidak mungkin bersepakat dutsa. Menurut Abu al-Thayib jumlah perawinya empat orang, ashhab al-syafi’i menyatakan 5 orang, dan ulama lain menyatakan pula perawinya mencapai 20 orang atau 40 orang.
3.    Adanya keseimbangan jumlah rawi pada masing-masing thabaqah, dalam bilangan mutawattir. Thabaqah merupakan silsilah dari Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, tabi’it tabbi’in sampai kepada perawi. Maksud dari keseimbangan jumlah rawi yakni dari kalangan sahabat harus ada minimal 4 sahabat atau lebih yang meriwayatkan hadits yang sama begitu pun seterusnya sampai  kepada perawi.

C.     Klasifikasi Hadits Mutawattir
Klasifikasi hadits mutawattir Terbagi pada tiga bagian, yakni:
1.      Hadits mutawattir lafzhi 
Hadits yang lafazh dan maknanya terdapat kesesuaian antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain, atau adanya persamaan periwayatan baik dalam susunan makna atau redaksi kalimatnya. Yakni:
Hadits yang sama bunyi lafazh, hukum, dan maknanya.
      contoh hadits mutawattir lafzhi adalah:
      من كذ ب علي متعمد ا فليتبو أ مقعده من النا ر.    رواه البخا رى
Barangsiapa yang sengaja berdutsa atas namaKu, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (HR.Bukhari
Menurut abu bakar al-bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadits, yaitu al-bukhari, muslim, ad-darimi, abu dawud, ibn majah, at-tirmidzi, at-thasyili, abu hanifah, ath-thabrani, dan al-hakim.
2.      Hadits mutawattir ma'nawi
Hadits yang lafazh dan maknanya berlainan secara lahiriah antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi secara umum terdapat kesesuaian makna, atau hadits mutawattir yang berlainan susunan redaksi dan maknanya tetapi kembali kepada satu makna yang umum. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits:
ما ا ختلفو ا فى لفظه و معنا ه مع رجو عه لمعنى كلي
            Hadits yang berlainan bumyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
      Contoh hadits mutawattir ma'nawi adalah:
كا ن النبي صلى الله عليه و سلم لا ير فع يد يه في شيء من دعا ءه الا فى الإستسقا ء وإنه يرفع حتى ير بيا ض إبتا ض إبطيه.   رواه البخرى
Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat itsisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, lebih dari 100 hadits.
3.      Hadits mutawattir 'amali:
ما علم من الذ ين با لضر و ر ة وتوا تر بين المسلمين أن النبي صلى الله عليه وسلم فعله أو أمر به أوغير ذلك وهو الذ ي ينطبق عليه تعر يف الإجما ع انطبا قا صحيحا.
adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan telah mutawattir di kalangan umat islam, bahwa nabi SAW mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
      Contoh hadits mutawattir 'amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, ahalat jenazah, shalat 'ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar Akat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan, ijma.

D.    Nilai Kehujjhan Hadits Mutawattir
Mutawattir berfaidah memberi ilmu doruri artinya bersifat yakin yang dibutuhkan oleh manusia dengan keadaan mendesak untuk dapat membenarkan dengan pembenaran yang pasti, seperti seseorang yang menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya sendiri (pancaindera), dan hal itu tentu tidak akan menimbulkan keraguan dalam pembenarannya, demikian pula dengan khabar atau hadits mutawatir. Karena demikian seluruh hadits mutawatir itu makbul (diterima). Sehingga hadits mutawattir dapat dijadikan sebagai hujjah.

Referensi :
Ulumul Hadits

#hadits #haditsmutawattir #haditsahad #ulumulhadits #ilmuhadits #pengantarilmuhadits #rawi' #periwayat #rasulullah #nabimuhammad #ensiklopediahadits #kitabhadits #sanad #matan


Jumat, 04 Januari 2019

DEFIINISI HADITS AHAD


Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, salah satu fungsi dari hadits adalah untuk menjelaskan rincian hukum yang digambarkan secara umum dalam al-Qur’an. Hadits mulai dibukukan sekitar abad ke 2 hijriyah masa itu bisa disebut sebagai masa kodifikasi hadits.
Di masa sahabat banyak orang yang menyampaikan hadits palsu demi kepentingan kelompoknya yang disebabkan pertentangan politik dan pada masa itu belum terjadi pembukuan hadits. Di zaman sekarang yang rentang waktunya jauh dengan masa Rasulullah SAW sangat memungkinkan bagi banyak orang yang berdalih menggunakan hadits palsu untuk memperkuat argumennya, karena banyaknya hadits yang sampai kepada kita. Untuk menghindari hal tersebut maka perlulah kita memelajari tentang hadits, sekarang penulis akan membahas salah satu hadits berdasarkan banyaknya periwayat yakni tentang hadits ahad. 
A.    Definisi Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti yang satu. Dan Khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir.

B.     Macam-Macam Hadist Ahad
1.      Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah nampak, sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas muttawatir.
Contoh :
“Sesungguhnya allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat orang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan seorang pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).”
2.      Hadits Azis
Artinya : yang sedikit, yang gagal atau yang kuat. Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.
Contoh:
Nabi SAW bersabda : ”Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu hingga aku (nabi) lebih dicintainya dari pada bapaknya, anaknya, serta seluruh manusia”.
3.      Hadits Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.

C.     Kualitas dan Kehujjahan Hadits Ahad
Menurut para ahli hadits, hadits ahad dianggap sebagai dhany al-wurud artinya secara umum keabsahan bahwa hadits ini berasal dari Rasullulah SAW masih diragukan.
Persoalan dhany al-wurud memang telah menjadi pandangan yang umum dikalangan muhadditsin atas dasar pandangan itulah, maka para pakar hadits mengadakan penyelidikan terhadap hadits ahad. Berbagai formula dan kriteria dibuat oleh para ulama untuk menyaring sekian banyak hadits, sehingga mereka bisa menentukan dari sekian hadits yang diragukan itu manakah yang mendekati keyakinan. Kalaupun masih tetap dikatakan dhan, masuk kategori ghalabatu dhan. Hasil dari penyelidikan yang panjang ini para pakar hadits membagi hadits ahad menjadi 3 tingkatan yaitu shahih, hasan dan dha’if.
Hadits ahad dikatakan shahih jika setiap rawi dinilai adil dan dhabit, sanadnya bersambung, tidak ada keganjilan dan tidak ada cacat. Jika kualitas rawi sedikit lebih rendah dari kualitas hadits shahih tetapi kriteria yang lain sama, maka kualitas hadits tersebut hasan. Tetapi jika tidak memenuhi kriteria hadits shahih maupun hasan, maka hadits tersebut termasuk kategori dha’if.

D.    Polemik  Hadist Ahad
Ulama membagi kepada 3 kelompok pendapat tentang status tingkat kepastian kebenaran dan keyakinan terhadap hadis ahad.
1.      Secara mutlak hadis ahad tidak menghasilkan ilmu yang pasti benar baik hadis itu di dukung oleh qarinah ataupun tidak  (madzhab  jumhur ahli ushul, ahli ilmu kalam)
2.      Secara mutlak hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar walau tanpa adanya qarinah, ia wajib di amalkan karena amal tidak bisa dipisahkan dari ilmu (imam ahmad jumhur para ahli hadis)
3.      Hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar jika di dukung oleh sejumlah qarinah (ulama ushul, ulama kalam, ulama hadis)
Pendapat ulama tentang kehujjahan hadis ahad dalam masalah aqidah
      Pihak yang menolak hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah berpendapat bahwa sesuatu yang di jadikan sebagai akidah haruslah berupa kebenaran yang pasti , aqidah tidak bisa pada sesuatu yang masih dzan (praduga).
Argumen para ulama yang berpegang dengan hadis ahad dalam masalah aqidah
      Di utusnya nabi seorang diri pada suatu kaum, menunjukkan hujjah Allah SWT kepada hambanya baik dalam masalah aqidah maupun ibadah.
      Tidak ada batas yang tegas antara keyakinan dan amal pada diri seseorang sebab amal bergantung pada niat dan keyakinan.
      Pemakaian kata dzan memiliki makna kontradiktif, bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakinBanyak ayat yang menunjukkan bahwa khabar ahad yang di bawa 1 orang merupakan hujjah dalam masalah agama, baik masalah aqidah atau hukum QS. At-Taubah :122.

Referensi :

Kamis, 03 Januari 2019

Definisi Dan Contoh Hadits Maqthu'


Dalam perkambangan hadits, sahabat dan tabi’in memiliki urgensi besar dalam kaitannya dengan hadits. Karena sahabat dan tabi’in mendapat posisi penting dan status intelektual terhormat khususnya dalam menjaga sunah. Tidak hanya itu saja, sama-sama diketahui bahwa yang sangat sering berinteraksi dengan Rasulullah adalah para sahabat. Dan tabi’in merupakan kelompok orang yang berada setelah masa sahabat dan sangat sering juga berinteraksi dengan sahabat sebagai pemerhati Rasulullah. Oleh karena itu, perlu mengkaji sahabat dan tabi’in termasuk juga apa yang mereka katakan dan lakukan.
            Kemudian sahabat merupakan pemerhati segala hal yang dilakukan Rasulullah, begitu juga tabi’in yang pada masa mereka sangat sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan para sahabat.
            Hadits maqthu’ adalah satu hal yang penting dikaji karena bersandarkan pada perkataan dan perbuatan para tabi’in. Maka dengan mempelajari dan memahami hadits maqthu’, dapat diketahui apakah hadits ini dapat dijadikan hujjah atau tidak.
A.   Defenisi Hadits Maqthu’
Secara bahasa atau etimologi:         
Berasal dari kata “Qatha’a” yang berarti terpotong atau terputus lawan dari “washala” yang berarti bersambung. Kata terputus berarti tidak sampai kepada Nabi SAW, hanya sampai kepada tabi’in.
Secara istilah atau terminologi:
ما أضيف إلى التابعي أو من دونه من قول أو فعل
Apa-apa yang disandarkan kepada tabi’in dan selainnya dari perkataan dan perbuatan.
ما روي عن التابعين موقوفا عليهم من أقوالهم و أفعالهم
Sesuatu yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepada mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan mereka.
الحديث المقطوع هو ما أضيف إلى التابعى
Hadits maqthu’ adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’in.
Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dan disandarkan kepada tabi’in dan lainnya, baik secara perkataan atau perbuatan mereka dan hadits ini sanadnya tidak sampai pada Rasulullah SAW.

B.   Pembagian Hadits Maqthu’
1.      Maqthu’ Qauliy (مقطوع القولي) yang berasal dari perkataan tabi’in.
 مثال : قول الحسن البصري فى الصلاة خلف المبتدع : ”صل و عليه بدعته
Artinya: Perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah: “shalatlah dan bid’ahnya atasnya”. (HR. Bukhari).
2.      Maqthu’ fi’liy (مقطوع الفعلي) yang berasal dari perbuatan tabi’in.
مثال : قول ابراهيم بن محمد بن المنتشر ” كان مسروق يرخي الستر بينه و بين أهله و يقبل على صلاته و يخليهم و دنياهم“.
Artinya: (dalam bentuk perkataan) sebagaimana perkataan ibrahim bin muhammad bin Al-Muntasyir: masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.( Hilyatul Auliyaa).

C.   Persamaan dan Perbedaan Hadits Maqthu’ dengan lainnya.
Dalam masalah persamaan antara hadits maqthu’ dengan yang lainnya yaitu, beberapa ulama yang mengatakan hadits maqthu’ padahal yang dimaksudkan adalah hadits munqthi’. Hal ini seperti yang dilakukan oleh ahli hadits seperti Imam asy-Syafi’i dan ath-Thabrani rahimahumallah menggunakan kata al-Maqthu’ padahal yang mereka maksudkan adalah, al-Munqathi’, yaitu yang tidak tersambung sanadnya. Dan ini adalah istilah (penamaan) yang tidak masyhur. Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam hal ini diberi toleransi, karena beliau mengatakan hal itu sebelum dipatenkan istilah-istilah tersebut. Adapun imam ath-Thabrani rahimahullah, maka penyebutannya tersebut adalah dianggap sebagai sikap longgar dalam istilah.
Sedangkan perbedaannya dengan hadits munqathi’ bagi ahli hadits yang membedakannya yaitu, antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepada tabi’in yang mengatakannya atau mungkin juga terputus sanadnya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan atau untuk lebih jelasnya hadits munqathi’ adalah hadits yang berasal dari Rasulullah tapi sanadnya tidak sampai kepada Rasulullah dan hal inilah yang menyebabkan hadits ini dha’if. Dalam hadits munqathi’ yang dibicarakan adalah sanadnya, sedangkan dalam hadits maqthu’ yang dibicarakan adalah matannya.

D.   Kehujjahan Hadits Maqthu’
Hadits maqthu’ sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum syara’, karena berasal dari perkataan seorang muslim yang bukan merupakan perkataan dari Rasulullah maupun Allah SWT. Tetapi, jika ada bukti kuat yang menyatakan kemarfu’annya dan mengangkat derajat hadits tersebut, maka hadits tersebut dihukumi marfu’ mursal. Yaitu hadits dha’if yang sanadnya terputus pada bagian sahabat.


Referensi :
Modul Ilmu Hadits, Anto Makmu, Lc